Menu


Pergaulan suami-istri, orangtua-anak, dan antar anggota keluarga besar, terikat dengan prinsip-prinsip aspek muamalah (tindakan antar manusia) pada umumnya, dan prinsip-prinsip da
lam perkawinan dan keluarga pada khususnya. Adapun prinsip-prinsip dalam perkawinan dan keluarga yang disarikan dari ayat-ayat al-Qur’an terkait adalah sebagai berikut:
1.          Berdasarkan batas-batas yang ditentukan Allah (al-Qiyamu bi hududillah)
Istilah hudud Allah (batas-batas yang ditentukan Allah) muncul dalam al-Qur’an sebanyak 13 kali di delapan ayat di mana satu ayat berkaitan dengan kekafiran dan kemunafikan Arab Badui, dan tujuh lainnya terkait perkawinan dan keluarga:

a.          Larangan menggauli istri saat i’tikaf di masjid (QS. Al-Baqarah/2:187: satu kali disebut),

b.         Perselisihan suami-istri (QS. Al-Baqarah/2:229: empat kali disebut),
c.          Thalaq ba’in (QS. Al-Baqarah/2: 230: dua kali disebut),

d.         Waris (QS. An-Nisa/4:13: satu kali disebut),

e.          Waris (QS. An-Nisa/4:14: satu kali disebut),

f.          Sumpah Dzihar (QS. Al-Mujadilah/58:4: satu kali disebut),

g.          Perceraian (QS. Ath-Thalaq/65:1: dua kali disebut)


Ketentuan ini didasarkan kepada kemaslahatan bersama, bukan ditentukan oleh kepentingan salah satu pihak sesuai dengan keinginannya sendiri. Ayat-ayat yang mengandung kata hudud di atas berisi tentang tindakan keterlaluan yang merusak keluarga dan dipandang melampaui batas-batas ketentuan Allah.

2.          Saling rela (ridlo)

Allah menyebutkan prinsip ini tentang bolehnya mantan istri setelah habis masa idah untuk menikah dengan laki-laki lain jika keduanya saling rela (QS. Al-Baqarah/2:232), bolehnya menyusukan bayi pada perempuan lain jika ayah dan ibu bayi saling rela (QS. Al-Baqarah/2:233), dan bolehnya suami menggunakan mahar yang menjadi hak istri jika keduanya saling rela QS. An-Nisa/4:24).

3.          Layak (ma’ruf)

Allah sering menyebut kata ma’ruf dalam konteks perkawinan dan keluarga. Dalam Al-Baqarah disebut sebanyak 11 kali, dan di An-Nisa sebanyak dua kali, dan di surat ath-Thalaq sebanyak dua kali. Istilah layak di sini secara sederhana berarti sesuatu yang baik menurut norma sosial dan ketentuan Allah. Jadi, misalnya, dalam pembagian harta warisan, hubungan seksual suami istri, pengasuhan anak dan hal-hal lain dalam kehidupan keluarga, harus dijalankan sesuai dengan nilai kemanusiaan, norma sosial dan aturan agama.

4.          Berusaha menciptakan kondisi yang lebih baik (Ihsan).

Ihsan berarti lebih baik atau bisa juga dimaknai sebagai upaya menciptakan kondisi yang jauh lebih baik. Al-Qur’an menyebutkan kata ini dalam konteks perkawinan sebanyak dua kali. Pertama, jika suami menceraikan istrinya, maka perceraian mesti dilakukan dengan cara-cara yang membuat kondisi istri dan keluarganya lebih baik daripada ketika perkawinan dipertahankan (QS. Al- Baqarah/2:229). Kedua, anak mesti bersikap kepada orang tua dengan lebih baik daripada sikap orangtua kepada anak (QS. Al-An’am/6:151). Ringkasnya, semua tindakan dalam keluarga harus membuat semua pihak menjadi lebih baik.

5.          Tulus (nihlah).

Prinsip nihlah (tulus) muncul dalam konteks pemberian mahar oleh suami kepada istri (Qs. An-Nisa/4:4). Dalam beberapa masyarakat, mahar dipandang sebagai alat pembayaran atas istri. Semakin tinggi nilai ekonomi sebuah mahar, semakin tinggi pula rasa memiliki suami atas istri. Mahar kemudian bisa menyebabkan istri kehilangan kekuasaan atas dirinya sendiri karena diambil sepenuhnya oleh suami. Dalam Islam, mahar harus diberikan secara tulus, bukan alat pembayaran untuk menguasai. Jadi berapa pun tingginya nilai ekonomi sebuah mahar, ia tidak bisa dijadikan alasan untuk menuntut istri agar taat secara mutlak pada suami.

Prinsip nihlah  ini menghendaki setiap pihak dalam keluarga untuk menyikapi harta secara arif tidak sebatas mahar. Suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri. Namun berapapun besarnya nafkah itu, suami tetap tidak boleh sewenang-wenang kepada istri.

6.          Musyawarah.

Prinsip musyawarah muncul dalam QS. Al-Baqarah/2:233, yakni suami dan istri bisa memutuskan untuk menyusukan bayi mereka pada perempuan lain setelah keduanya bermusyawarah dan saling ridlo atas keputusan tersebut.

Secara umum prinisp ini menghendaki agar keputusan penting dalam keluarga selalu dibicarakan dan diputuskan bersama. Kepala keluarga tidak boleh memaksakan kehendaknya. Dalam surat Ali Imarn (QS. Ali Imran/3:159), Allah memerintahkan musyawarah sebagai cara memutuskan perkara, termasuk perkara-perkara dalam perkawinan dan keluarga.

7.          Perdamaian (ishlah).

Dalam hal perkawinan, Al-Qur’an menyebutkan kata ishlah sebanyak tiga kali. Pertama, seorang suami dalam masa talak raj’i itu lebih berhak untuk menikahi istrinya dengan syarat mempunyai keinginan untuk berdamai (QS. Al-Baqarah/2:228). Kedua, orang-orang yang bertindak sebagai penengah (hakam) bagi suami-istri yang berselisih harus mempunyai keinginan untuk mencapai perdamaian (ishlah) supaya Allah memberi jalan keluar (QS. An-Nisa/4:35). Ketiga, seorang istri yang mengkhawatirkan suaminya nusyuz, maka ia bisa menempuh jalan perdamaian (QS. An-Nisa/4:128). Prinsip ishlah menghendaki bahwa semua pihak dalam perkawinan dan keluarga mesti mengedepankan cara-cara yang mengarah pada perdamaian tanpa kekerasan.

Ketujuh prinsip perkawinan dapat dijalankan dengan baik jika didukung oleh empat pilar perkawinan yang kokoh sebagai berikut:

1.          Perkawinan adalah berpasangan (zawaj). Suami dan istri laksana dua sayap burung yang memungkinkan terbang, saling melengkapi, saling menopang, dan saling kerjasama. Dalam ungkapan al-Qur’an, suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami (QS. Al-Baqarah/2:187).


2.          Perkawinan adalah ikatan yang kokoh (mitsaqan ghalizhan/ QS. An-Nisa/4:21) sehingga bisa menyangga seluruh sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Kedua pihak diharapkan menjaga ikatan ini dengan segala upaya yang dimiliki. Tidak bisa yang satu menjaga dengan erat sementara yang lainnya melemahkannya.

3.          Perkawinan harus dipelihara melalui sikap dan perilaku saling berbuat baik (mu’asyarah bil ma’ruf/ QS. An-Nisa/4:19). Seorang suami harus selalu berpikir, berupaya, dan melakukan segala yang terbaik untuk istri. Begitupun sang istri berbuat hal yang sama kepada suaminya.

4.          Perkawinan mesti dikelola dengan musyawarah (QS. Al-Baqarah/2:23). Musyawarah adalah cara yang sehat untuk berkomunikasi, meminta masukan, menghormati pandangan pasangan, dan mengambil keputusan yang terbaik.

Empat pilar ini dapat menguatkan ikatan perkawinan dan memperdalam rasa saling memahami dan kasih-sayang. Semua itu akan bermuara pada terwujudnya keluarga yang harmonis. Dengan empat pilar ini, suami dan istri akan senantiasa termotivasi untuk membangun rumah tangga sesuai amanat ilahi. Berusaha manjaga amanat ilahi berarti pula berusaha menjadi orang yang salih di mata Tuhan. Dalam suatu hadis disebutkan bahwa harta terindah bagi seorang suami adalah istri yang salihah (HR. Abu Dawud). Dan tentu saja, bagi seorang istri, harta terindahnya adalah suami yang salih. Hal-hal seperti itulah yang akan membantu terwujudnya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Sumber : Fondasi Keluarga Sakinah, Bacaan Mandiri Calon Pengantin

Posting Komentar

 
Top