Kantor
Urusan Agama ( KUA ) Kecamatan Denpasar Utara berdiri pada pada tahun 1979, Sejak berdirinya KUA
Kuta, tercatat telah terjadi delapan kali pergantian tampuk pimpinan dengan
jangka waktu kepemimpinan yang berbeda-beda.
Para nahkoda tersebut adalah :
Para nahkoda tersebut adalah :
a. H. Djazuli (1979-1984)
b.
Drs. H. Sopari Abdul Gani, MA (1984-1986)
c.
Drs. H. Hasjim Asjari (1986-1990)
d.
H. Muharror Hamzah, SH (1990-1995)
e.
H. Khairuddin, S.Pd.I (April 1995-Januari
2001)
f.
Drs. H. Syamsul Bahri, M.Pd.I (Januari
2001-Januari 2003)
g.
Drs. H. Salim Syamlan, M.Pd.I (Januari
2003-Juli 2004)
h.
H. Nadlah, S.Ag, M.Pd.I (Juli 2004-Maret 2008)
i.
H. Masruhan, S.Ag, M.Si (April 2008 – Desember
2009)
j.
H. Abas, S.Pd.I (Januari 2010 – Januari 2012)
k.
H. Aminullah, S.Ag (Januari 2012 - Januri
2013)
l.
H. Fathurrahim, S.Ag., MA.
(Januari 2013 – Februari 2019)
m.
H. Syamsul Arifin, S.Ag., M.AP (Maret 2019 – Sekarang)
Sedang prestasi KUA
Kuta yang berhasil diraih selama masa tersebut antara lain :
ü
Juara
III KUA Teladan Provinsi Bali Tahun 1995
ü Juara III KUA
Teladan Provinsi Bali Tahun 1996
ü Juara III KUA
Teladan Provinsi Bali Tahun 1997
ü Juara I KUA Percontohan
Provinsi Bali Tahun 1999
ü Juara III KUA
Percontohan Provinsi Bali Tahun 2007
ü Juara I KUA
Percontohan Provinsi Bali Tahun 2009
ü Juara I
KUA Teladan Kabupaten Badung Tahun 2019
Beberapa
prestasi juga diraih badan semi resmi di lingkungan KUA Kuta, diantaranya:
ü
Juara Umum MTQ Kabupaten Badung Tahun 2006
ü
Juara Umum STQ Kabupaten Badung Tahun 2007
ü
Juara Umum MTQ Kabupaten Badung Tahun 2008
ü
Juara Umum STQ Kabupaten Badung Tahun 2009
ü
Juara Umum MTQ Kabupaten Badung Tahun 2018
Hampir seluruh
masyarakat dunia mengenal nama besar Kuta sebagai the main destination pariwisata
dunia. Konsekuensi logis dari stereotype tersebut maka masyarakat-pun
cukup banyak bergerak dan berprofesi dalam bidang pariwisata (29,3 persen)
dengan mobilitas yang cukup tinggi bak masyarakat metropolis, kehidupan
(baca:watak) yang cukup ‘keras’ lengkap dengan pelbagai kepentingan dan tingkat
sensitivitas yang tinggi.
Interaksi egati yang cukup
komplekspun tak bisa dihindari dialami masyarakat yang cenderung heterogen,
baik antara warga egati asing (WNA) dengan warga egati Indonesia (WNI) maupun
antar egati warga pribumi, khususnya masyarakat Islam dengan non-muslim. Hal
itu dapat dilihat pada banyaknya peristiwa perkawinan antara WNI dengan WNA
(campuran) dan perkawinan antara orang Islam dengan muallaf (asalnya beragama
non Islam).
Bukan hanya dalam hal perkawinan
saja dampak interaksi umat Islam dengan non muslim dan warga egati asing
dirasakan. Interaksi dengan non-muslim, khususnya Hindu dan adat setempat
berdampak pada masalah administrasi kependudukan yang mau tidak mau harus
mengikuti egati egat Bali. Gesekan keyakinan dan budaya pun sering tak bisa
dielakkan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam yang membuat KUA harus bekerja
ekstra dalam memberikan perhatian di bidang toleransi umat beragama.
Sedang interaksi dengan warga negara asing terlihat pada trade mark globalisme, baik dari mode (fation), makanan (food) sampai prilaku masyarakat yang cenderung berdampak egative seperti pergaulan bebas dan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Hal itu tidak lain sebagai konsekuensi posisi Kuta yang menjadi central perdagangan dunia untuk wilayah Bali. Kondisi makin sulit terpantau dengan tingginya tingkat urbanisasi di Kuta sehingga mau tidak mau akulturasi budaya harus dilakoni masyarakat.
Sedang interaksi dengan warga negara asing terlihat pada trade mark globalisme, baik dari mode (fation), makanan (food) sampai prilaku masyarakat yang cenderung berdampak egative seperti pergaulan bebas dan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Hal itu tidak lain sebagai konsekuensi posisi Kuta yang menjadi central perdagangan dunia untuk wilayah Bali. Kondisi makin sulit terpantau dengan tingginya tingkat urbanisasi di Kuta sehingga mau tidak mau akulturasi budaya harus dilakoni masyarakat.
Posting Komentar